SENYUM UNTUK RARA

Rabu, 05 Desember 2007

Mentari telah condong ke arah barat. Langit seakan ternoda dengan warna merah darah. Namun, darah yang terpancar di angkasa itu sungguh indah. Dengan diselimuti sutra hitam yang kurang merata, menambah keindahan senja itu.
Sang bulan dengan malu-malu menampakkan diri di balik awan. Bintang-bintang mulai berkedip-kedip nakal seakan berlomba-lomba menarik perhatian sang rembulan. Namun awan gelap sedikit menghalangi bintang-bintang sehingga hanya sedikit yang tampak.
Para pedagang kaki lima yang akan menjajakan dagangannya, mulai menggelar tenda-tenda di pinggir jalan. Harum makanan dari tenda tenda yang menjual makanan telah tercium. Lampu-lampu petromaks mulai dinyalakan. Jalanan macet. Pengamen mulai gencar bernyanyi.
Rara duduk di depan gerobak nasi goreng milik bapaknya. Ia telah selesai memotong ayam goreng untuk di campur dengan nasi goreng nantinya. Dia juga telah mencuci bersih kubis dan sawi. Ditatanya kubis dan sawi itu di tempatnya.
“Wis mari ta nduk? Kalo’ udah rampung, kamu ndang pulang. Belajar buat besok sekolah,” Bapak tiba-tiba muncul di belakang Rara.
”I. . . ing. . . inggih pak. Sampun,” kata Rara dengan terbata-bata. Dia menata meja yang ada di depannya. Dilapnya meja itu hingga bersih. Namun tangan Rara terhenti dia melihat dua buah kursi kayu yang lain dari kursi pelanggan lainnya. Dia teringat akan perjumpaannya dengan Dicky
Dicky telah mewarnai hidupnya. Dicky telah mengajarinya suatu hal yang sangat berharga. Dicky adalah pembaru dalam hidupnya.
Sejak Rara bertemu dengan Dicky, dirinya berubah total. Dia bukan lagi Rara yang manja. Bukan lagi Rara yang menyebalkan. Bukan lagi Rara yang sombong.
Dilihatnya ponsel pink miliknya yang dibelikan Dicky untuk kado ulang tahunnya. Walau saat itu mereka baru satu minggu jadian, namun Dicky telah memberikan segalanya untuk Rara.
Rara tersenyum pahit. Layar pnsel itu tetap tak menunjukkan tanda-tanda bahwa Dicky menghubunginya. Ponsel itu tetap diam.
Ditekannya keypad pada ponselnya itu. Terlihat fotonya dengan Dicky saat mereka makan bersama. Wajah Dicky di foto itu sedang tersenyum sayang menatap Rara. Senyum yang selalu ada saat Dicky bertemu dengannya.
Namun senyum itu kini hilang entah ke mana. Hilang tanpa jejak. Senumitu berubah menjadi garang. Senyum itu telah direnggut oleh kecerobohan Rara sendiri. Dan sekarang ia merindukan senyum itu.
Bapak Rara yang melihat hal itu hanya dapat menggelengkan kepalanya. Dia marasakan sesuatu yang tidak beres dengan Rara walaupun Rara tak pernah mengucapkannya. Bapak Rara tahu kalau ada masalah antara Rara dengan Dicky. Namun Bapak Rara hanya dapat menghela nafas saja.
”nduk cepet pulang. Bentar lagipelanggan udah datang. Kamu nati di godain lo. Udah sana” kata Bapak Rara membuyarkan lamunan Rara.
”oh inggih pak.” Rara bergegas mencuci lap yang tadi ia pakai. pak, saya mantuk dulu. Assalamu allaikum.”
Rara beranjak pulang dengan bungkusan nasi goreng di tangannya. Rara melangkah dengan gontai. Dia sungguh kehilangan konsentrasinya. Ia bahkan hampir saja tertabrak mobil saat menyeberang jalan. Tawaran Raka minggu lalu mengusik batinnya.
* * * * *
“ Ra, bisa bicara sebentar?” pinta Raka saat bel berbunyi. ” Cuma BERDUA saja,” Raka memberi sedikit tekanan pada kata ’berdua’.
Hal ini membuat Rara meminta Anit, sahabatnya, meminta Dicky, cowok Rara, untuk enunggunya sebentar.
Rara tak tahu harus berkata apa. Raka mengajaknya berbicara berdua saja. Raka adalah cowok pertama yang membuatnya lupa akan Dicky, cowok yang telah bersamanya selama satu tahun ini.
Raka begitu menawan hatinya. Entah apa yang membuatnya menarik, namun Raka tiba-tiba saja menyita setengah dari hatinya. Raka datang pada saat yang tepat. Saat kejemuan melanda hubungan Rara dan Dicky, Rara datang membawa secuil harapan.
Walaupun Rara tak berpacaran dengan Raka, namun kebaikan Raka dan perhatian yang Raka berikan padanya membuat hati Rara bergejolak hebat.
Rara bahkan juga sempat berbohong pada Dicky, saat Dicky tanpa sengaja menemukan foto Raka di buku catatan Rara. Dicky sangat percaya pada Rara. Sehingga semua alasan yang Rara berikan sanggup menepis kegundahan Dicky.
Raka adalah cowok idola di sekolah Rara. Hampir setengah dari cewek di sekolah Rara, memimpikan Raka. Raka memang menawan, namun, Raka sama sekali berbeda dengan type cowok Rara. Namun Raka sanggup membuat type cowok adalah hal yang sangat tidak penting. Bahkan seorang Rara yang setia pun mampu menduakan cinta.
Kini Raka ada di depannya. Raka mengajaknya berbicara berdua. Hal yang sungguh lama ia tunggu. Sebenarnya apa yang ingin Raka bicarakan? Walau Raka begitu perhatian dengan Rara, namun cara Raka yang begitu berbeda menimbulkan banyak tenya di hati Rara.
Rara hanya berjalan mengikuti Raka tanpa berkata apa pun. Rara memandang punggung cowok yang membuat separuh dari cewek di sekolahnya histeris dan melupakan segalanya. Gejolak kembali terrasa di hatinya.
” Ra, duduk,” pinta Raka santai sesampainya mereka di kantin. Saat itu kantin sedikit sepi. Tak heran karena ini adalah waktu pulang sekolah. Hanya terdapat beberapa anak yangg menunggu ekstrakurikuler saja.
” lo mo apa? Neh minumnya apa? Makan?” tanya Raka. Rara hanya memandang Raka dengan perasaan penasaran.
” udah deh Ka, langsung aja. Ada apa? Lo mo nyuruh gue ngerjain tugas lo?” kata Rara bercanda. Dia tertawa garing.
Raka menata duduknya. Dia merapikan sedikit seragamnya. Tiba-tiba wajah Raka berubah serius. Raka memandang Rara dengan penuh arti. Dia ingin Rara tahu apa yang ingin dia bicarakan tanpa berkata.
Rara menyadari sikap Raka yang berubah serius. Itu terlihat dari tangan Raka yang ia letakkan di depan wajahnya. Itu adalah kebiasaan Raka saat dia ingin memulai pembicaraan yang serius.
” kenapa lo Ka? Sakit lo? Ayan lo kumat?” canda Rara sedikit mencairkan suasana.
” ga Ra.” jawab Raka singkat. Hening kembali.
Mereka berdua hanya saling memandang selam beberapa lama. Matahari telah tergelincir di ufuk barat. Langit mulai beraneka warna. Namun belum ada sedikit pun kata yang terlontar darimulut Raka. Hanya dinding yang berbicara.
Lagu merpati band mengalun dari dalam tas Rara. Rara mengambil tasnya. Didapatinya sebuah nama muncul di layar ponselnya. Dicky. Dia masih menunggu Rara untuk pulang.
“siapa?” tanya Raka.
“Dicky, gue pulang dulu ya Ka.” kata Rara bergegas untuk pulang. ” ne minum lo yang bayar kan?” canda Rara sembari mengeluarkan dompet pink miliknya.
”tunggu dulu Ra, gue belum ngomong.”
“Tapi ne sedah sore, gue harus Bantu bokap gue. Gue juga ditunggu ama Dicky. Lo ga ngomong dari tadi.” Rara berdiri di depan Raka. Dia kemudian beranjak menuuju gerbang sekolah.
“Ra. . .!” teriak Raka. Dia bergegas mengeluarkan uang untuk membayar minumnya. Dia berlari mengejar Rara. Diraihnya tangan Rara.
“Ra, gue belum ngomong!”
“ok ngomong sekarang!”
“gue ga bisa. Gue . . . “ Raka gugup. Dia menelan ludah berkali-kali. Dia menggenggam tangan Rara dengan kuat. Raka memandang Rara dengan wajah memohon.
“Ka, Dicky udah nunggu gue lama. Gue tkut dia bakal marah ama gue.” Rara menjelaskan. Dia sesekali memandang kea rah gerbang. Dia mencari sosok Dicky.
”ok gue ngomong sekarang.”
” cepet !” teriak Rara kesal.
“Ra, gue sayang ama lo.” Kata Raka datar. Dia memandang mata Rara tajam.
Rara terkejut. Ia menata hatinya. ia girang tak terhingga. Namun hati kecilnya berontak dengan semua itu. Dia sadar dia telah memiliki Dicky. Rara menata hatinya kembali.
”gue tahu, lo sobat gue.”
“bukan sebagai teman, tapi gue sayang lo layaknya cowok normal yang suka ama cewek Ra!” akhirnya Raka berani menggutarakan maksudnya. Genggamannya pada tangan Rara semakin kuat.
“lo bercandanya kelewatan! Ha. . ha. . ha” tawa Rara garing. Rara benar-benar tekejut dengan perkataan Raka. Dia tak menyangka Raka akan berkata seperti itu. Walau Rara sangat senang dengan kata-kata Raka, dia tetap saja keget dan cemas kalu-kalau Dicky tahu.
Hati Rara tetap berontak walau dirinya senang akan ucapan Raka. Rara tetap berkonsentrasi dan mengingat-ingat Dicky, agar dia tidak terperosok ke jurang yang membahayakan hubungan dirinya dengan Dicky.
”Ra kenapa sih elo ga’ percaya?” Tanya Raka. Dia memegang pundak Rara. Dia menatap Rara dengan pandangan memelas.
”karena elo suka bercana. Dan elo tahu gue udah punya cowok. Dan cowok gue itu shabat elo ’ndiri.” Jawab Rara lantang. Dia berusaha mengatur suaranya agar tak terdengar lemah oleh Raka.
“cuman gara-gara itu?” Raka mendorong Rara. Raka berbalik membelakangi Rara.
“Ka, elo tahu kan, gue sayang banget ama Dicky” Rara mendekati Raka.
“tapi gue juga tahu kalo’ elo udah bosan ama dia. Elo marahan sama dia.” Raka berkata keras. Nada suaranya naik. ”Gue juga tahu elo suka ama gue saat kita pertama ketemu Ra” Raka memelankan suaranya.
Rara tak dapat memungkirinya. Dia memandang Raka dengan perasaan tak menentu. Dia sedikit heran bagaimana dia bisa tahu hubungannya dengan Dicky?
” ya gue akui, gue pernah suka ama elo. Tapi ini cuman pelarian gue aja. Gue suka ama elo karena waktu itu gue lagi marah ama Dicky.” kata Rara.
” ya tapi kan berarti gue bisa menarik perhatian lo” kata Raka bersikeras.
”terserah lo. Lo udah gila.” teriak Rara. Dia beranjak dari tempatnya. ” bercanda lo kelewatan!”
”ga Ra, gue ga’ bercanda!” Raka memandang Rara tajam. Dia menarik tangan Rara. Rara yang tak menyangka hal itu, tertarik menuju Raka. Raka memeluknya erat.
Dalam pelukan Raka, Rara dapat mendengar degup jantung Raka yang lebih cepat dari detak jantung normal. Raka serius!
Raka semakin memeluk Rara dengan erat.
”gue sayang ama elo. Gue cinta ama elo. Gue ga’ mau orang lain miliki elo. Tapi elo udah punya Dicky saat gue datang” bisik Raka.
Rara merasakan kejujuran dari perkataan Raka. Rara berusaha lepas dari pelukan Raka, namun usahanya gagal. ” Ka lepasin gue. Nanti Dic”
Tak sampai Rara mengucapkan kalimatnya, Raka menempelkan jari telunjuknya di bibir Rara, memintanya diam.
”sssht. Jangan ngomong soal Dicky. Gue sayang ama lo Ra. Gue sayang banget.”
Rara berusaha melepaskan pelukan Raka pada tubuhnya. Namun sekuat apapun yang Rara coba, usahanya selalu gagal.malahan Raka semakin erat merengkuh tubuh mungil Rara.
Bunyi ponsel Rara terdengar.
”Ka, lepasin! Ada telefon nih!” kata Rara memelas.
”biar! Biar aja. Kalo gue lepas lo bakal lari dari gue.”
“Raka! Lo gila”
“ya. Gila karena elo”
“iya tap. . “
“Ra!” Sekali lagi kalimat Rara terpotong. Namun kali ini bukan oleh Raka, nemun suara Dicky yang setengah berteriak padanya, memotong kalimatnya itu.
Raka dan Rara menoleh ke arah Dicky. Raka langsung melepaskan Rara begitu tahu Dicky ada di depan mereka. Dia menunduk memandang lantai. Rara dan Raka diam tak bergerak.
“Ra, lo ngapain disana? Lo mau gue kering nungguin lo!” kata Dicky sembari menghampiri Rara.
Dicky memandang Raka dengan tatapan benci. Dicky menari tangan Rara kasr hingga Rara hampir saja terjatuh.
Raka diam memandang Dicky tajam. Dia tak mau kalah dengan tatapan Dicky. Dia menantang. Dia ingin Dicky turun tangan.
”cepet pulang, lo harus Bantu bokap lo kan.” Kata Dicky kasar. Ucapannya itu sangat terasa dingin di telinga Rara. Dia tak pernah merasakan hal seperti ini. dicky beranjak pergi.
”I. . . Iya” Rara mengikuti Dicky.
Tiba-tiba tangan Raka kembali meraih tangannya. Rara sepontan menoleh.
”Ra gue serius. Pikirin kata-kata gue. Gue harap lo mau jadi cewek gue Ra.” Raka melepaskan tagan Rara. Dia memandang Rara penuh harap.
“sampai besok Ka.” Rara berlalu meninggalkan Raka. Dia berlari kecil mengejar Dicky.
Raka mencium tangannya yang sempat memegang tangan Rara. Raka tersenyum.

* * * * *
Hari ini genap sepuluh hari Dicky menghindarinya. Setiap telefon Rara takpernah ia angkat. Saat Rara mencoba menemuinya di kelasnya, Dicky acuh padanya. Semua usaha Rara untuk dapat berbicara pada Dicky gagal.
Rara terus mencoba menghubungi Dicky.
Akhirna setelah hampir putus asa, Dicky mau mengangkat telefon Rara. Rara merasa gembira. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hubungannya dengan Dicky setelah ini.
”Dicky! Dick gue. . . ”
”Ngapain lo telefon?” kata-kata Rara terpotong oleh ucapan Dicky yang dingin.
”Dicky, kamu kenapa? Mank aku ga’ boleh ya telefon kamu?” tanya Rara hati-hati. Rara bingung. Apa yang terjadi dengan Dicky.
”Ga papa. Gue ga’ kenapa-napa. Udah gitu doank?”
Rara merasakan sakit di hatinya. Rasa sakit yang sama saat dia tahu Dicky telah menyukai gadis lain dahulu. Saat Rara memendam perasaannya pada Dicky.
Mata Rara memerah. Tubuhnya bergetar hebat. Tak tersa air hangat menetes dari matanya. Diusapnya air mata yang terlanjur menetes di pipinya.
Rara berusaha untuk menguasai dirinya. Ia tak ingin Dicky tahu bahwa dirinya menangis.”Ga’ Dic, aku cuman pengen ngomong ama kamu.”
”oh, dah ngomong kan. C u” Dicky berujar masih tetap dingin.
“Dick,” Rara tak dapat menguasai dirinya. “ Dicky, jangan gitu donk.” Rara menangis. Suaranya bergetar hebat.
Dicky tahu Rara menangis. Hatinya bergejolak hebat. Namun di biarkannya gadis yang dicintainya itu menangis. Dicky merasa sangat bersalah pada Rara. Namun ia merasa di permalukan oleh Rara yang tak dapat menjaga perasaannya sama sekali.
”Dah, gue ngantuk. Nanti malem gue ke warung bapak lo deh. Kita ngomong. Kayak yang elo mau.”
”KLIK” telefon di tutup dengan kasar oleh Dicky.
Tinggal Rara yang menangis sendiri di kamarnya tanpa suara. Dia tak mau Bapaknya tahu tentang hal ini.
Dicky marah! Dicky kesal! Dycky marah padanya. Rara sungguh takut. Dia tek pernah merasakan kemarahan Dicky sedikit pun. Selama ini Dicky sangat baik terhadapnya. Tak pernah sekalipun Dicky berkata kasar padanya.
* * * *
Sejak sore, langit seakan tidakbersahabat. Awan hitam menggumpal berumpul ingin merajai angkasa. Hembusan angin dingin meraja lela. Langit tak seindah biasanya.
Rembulan tak tampak dirinya. Bintang pun enggan menampakkan diri. Seolah takut melihat sesuatu yang buruk terjadi. Gerimis mengguyur kota ini degan pasti.
Namun tenda-tenda tetap di gelar. Wangi masakan masih tercium. Begitu juga warung nasi goreng milik bapak Rara. Tetap seperti biasanya. Hanya agaksepi pelanggan saja.
Rara memperhatikan setiap tamu yang datang. Ia bersikeras untuk tetap tinggal di warung milik bapaknya itu walau bapaknya telah berkali-kali memintanya untuk pulang.
“wis ta nduk. Kamu cepet pulang. Nanti temen-temen kamu tahu bapak kamu jualan, bukannya kamu malu kalo’ temen kamu nanti weruh kalo bapak jualan gini?” kata bapak meminta Rara pulang.
Bapak Rara masih ingat saat Rara merengek agar dirinya tidak membantu di warung itu. Karena takut temannya tahu kalau bapaknya berjualan. Tapi, sekarang lain, dia sadar kalu itu semua salah. Dan adalah Dicky yang membuatnya sadar.
Namun Dicky kini tak perduli lagi dengannya. Dicky telah acuh padanya. Dicky tak lagi perhatian padanya.
”ga’ pa-pa kok Pak. Kulo disini saja. kulo mau bantu bapak. Biar bapak mboten capek.”
”oalah nduk yo wis ta kalo’ itu karep kamu. Sana cuci sawinya. Potong juga. Ingat jangan sampai ada uler yang masih nemplek”
“inggih pak”
Tangannya meraih syuran yang dimaksud bapaknya. Dicucinya bersih sayuran yang akan di campur dengan nasi goreng itu. Setelah agak kering, dipotongnya melintang agar dapat dengan mudah di gunakan oleh bapaknya.
Hujan mulai turun dengan lebat. Orang-orang berlalu lalang mencari tempat untuk berteduh. Banyak yang berteduh di warung milik bapak Rara namun hanya sedikit yang juga memesan makanan.
Saat hujan lebat berganti dengan gerimis. Saat sanga awan tak lagi merajai angkasa. Saat purnama kembali tersenyum dengan bintang-bintang yang nakal berkedip muncul, mobil hitam berhenti di depan warung milik bapak Rara.
Rara sudah kenal sekali dengan mobil itu. Dia bergegas meletakkan piring yang ia cuci. Dikeringkannya tangannya yang basah oleh air. Dihampirinya mobil itu. Rara tersenum penuh harap.
Namun sosok yang keluar dari mobil bukanla sosok yang ia tunggu. Bukan sosok Dicky.
Mama Dicky keluar dari mobilnya. Dipandanginya Rara dengan hangat. Mama Dicky bergegas masuk ke warung milik bapak Rara diikuti kedua adik kembar Dicky.
Bapak Rara yang tahu akan hal itu segera saja menghampiri MamaDicky. Bapak Rara menyambut pelanggan nomor wahidnya itu dengan senyum khas yang hangat.
”saya pesan Nasi goreng nya tiga ya pak. Dan tolong di kasih mie sedikit. Ini Andri dan Indra pengen makan nasi goreng sama mie” kata Mama Dicky begitu duduk di kursi yang di sediakan.
Bapak mengangguk senang. Bergegas di buatnya pesanan pelanggannya itu.
Rara berdiri di belakang Mama Dicky. Dia seakan maminta penjelasan di mana Dicky saat ini. mengapa sampai selarut ini Dicky belum juga nampak.
Mama Dicky mengajak Rara untuk duduk bersama dirinya. Tak lupa pula memesan nasi goreng tambahan untuk dimakan oleh Rara.
”Rara, kamu tahu di mana Dicky saat ini?” tanya Mama Dicky pada Rara.
Rara tersentak kaget. Dia tak percaya Mama Dicky akan bertanya padanya di mana Dicky berada.
”maaf tante, saya juga lagi nungguin Dicky. Memangnya Dicky udah lama perginya ya tante?” tanya Rara hati-hati.
”iya kak. Dari tadi. Dari berangkat sekolah tadi.” kata Andri. Mulutnya belepotan ice cream yang ia makan.
“ho’oh kak” Indra tak mau kalah. “ kan kalo’ sabtu gini biasanya pulang agak pagian. Tapi belom pulang” setelah menyampaikan sedikit informasi, Indra menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya.
“iya kak. Bukannya kalo’ malem minggu gini kak Dicky maen ke sini?” Andri kemudian mencomot acar mentimun kesukaannya yang di buat kusus oleh bapak untuk Andri.
”iya Ra, hapenya juga matai ini” kata Mama Dicky cemas. Raut wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang amat sangat.
”saya juga tidak tahu tante. Dari sepuluh hari yang lalu Dicky sudah tidak mau berbicara dengan saya lagi.” kata Rara pelan. Dia berfikir kemana perginya Dicky.
”oh ya sudah kalau begitu. Tapi kalau tante boleh tahu, kenapa ya Dicky tak mau berbicara lagi denganmu?”
Rara hanya tersenyum getir. Dia tak ingin Mama Dicky dan bapaknya tahu akan hal ini. dia malu dengan Mama Dicky yang sungguh baik padanya. Rara menerawang jauh. Dia ingin sekali tahu di mana dicky berada saat ini.
Tiba-tiba bapak Rara membuyarkan lamunan Rara.”nduk ini nasi goreng buat kang Marji. Tukang bangunan sebelah rumah itu. Kamu ndang pulang. Nanti kang Marji marah ama bapak”
”inggih pak” kata Rara cepat. ” tante, saya pulang dulu” pamit Rara.
”iya Ra, hati-hati di jalan ya sayang” kata Mama Dicky.
”iya tante”
* * * * *
Jalan sepi dimalam hari yang tenang. Lampu-lampu rumah telah dipadamkan. Hanya lampu jalan saja yang tetap dibiarkan menala untuk menerangi jalan. Bulan bersinar terang, setelah sempat terhalang oleh awan. Daun-daun jatuh dari tangkainya dengan perlahan lahan.
Sunyi sepi dan dingin. Membuat para penghuni rumah semakin ingin beranjak dari kativitas mereka yng melelahkan dan menuju tempat tidur masing masing. Mereka ingin dibuai oleh mimpi indah. Merilekskan tubuh setelah lama berkerja.
Jalan itu adalah jalan yang jauh dari jalan raya yang ramai. Oleh karena itu para penduduk tidak terganggu dengan aktivitas kota yang tiada pernah mengenal istilah tidur. Suara anjing yang melolong terdengar sendu. Angin malam berhembus dingin ke setiap sudut. Semakin membuat pendudk merapatkan selimut.
Dari kejauhan terlihat sinar kilatan sinar lampu. Kilatan lampu itu menjadi titik terang di malam hari. Semakin lama semakin besar. Dan terdengar suara deru mobil yang kian jelas mengikuti kejelasan sinar lampu itu.
Sebuah mobil merah mengkilat, melaju dengan cepat. Berselang sepersekian detik, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan yang tidak kalah tinggi menyusul. Daun daun yang jatuh ke jalan seketika berterbangan saat kedua mobil itu melewatinya. jalan yang licin kerana hujan gerimis, tidak menyurutkan pengemudi kedua mobil tersebut untuk melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka malah menambah kecepatan dari masing masing mobil.
Kondisi jalan yang sepi membuat pengendaranya semakin ingin melajukan mobilnya secepat mungkin. Mereka ingin menjadi yang terdepn utuk sampai di garis akhir.
Namun mereka mau tidak mau harus mengurangi kecepatan mereka, karena sebentarlagi adalah batas dari jalan sepi tersebut. Dan di hadapan mereka sebentar lagi adalah jalan raya yang jauh berbeda dengan jalan sepi tadi.
Jelas tantangan semakin besar karena bukan hanya mereka yang melaju di sana. Namun semakin besar keinginan mereka untuk melaju ke melewati jalan yang ramai tersebut.
Pada saat yang sama, seorang gadis sedang melewati jalan itu. Dia terrlihat bingung. Hal itu terlihat dari raut mukanya yag cemas. Dia menoleh kekanan kekiri. Matanya mencari sesuatu.
Dia berjalan kearah kebalikan dari kedua mobil tadi.
Setelah berjalan cukup jauh sang gadis akhirnya menemukan apa yang ia cari. Sebuah dompet yang tadi tidak sengaja ia jatuhkan. Untung saja tidak ada yang memungutnya. Karena itu adalah benda yang paling ia sayangi.
Saat gadis itu ingin memungut dompetnya, terdengar suara mobil yang melaju dengan cepat. Dia melihat ke depan. Dua buah lampu menyorotinya. Dan semakin mendekatinya.
Sang gadis tidak sadar apa yang dia hadapai saat itu. Dia hanya diam mematung dan memandang lampu-lmpu itu. Yang dia lihat hanya sebuah titik samara berwarna merah.
Namun bukan hanya satu mobil yang menuju kearahnya. Ada sebuah mobil yang hendak mendahului mobil itu. Dan saat kedua mobil itu sejajar, gadis itu baru dapat mencerna apa yang dia lihat.
Dua mobil yang melaju dengan kencang dan sekarang pasti akan menabraknya.
Gadis itu hanya terdiam dan menunggu waktu berputar dan memberikan sebuah efek padanya. Dia memejamkan mata dan mendekap dompet yang dipungutnya tadi.
Dua pengendara mobil melihat gadis itu di depan mereka. Namun mereka hanya dapata melaju. Mengurangi kecepatan atau pun tetap melaju dengan kecepatan teta seperti yang ada pada saat ini memberikan efek yang sama bagi mereka.
Ketiganya tak dapat berfikir lebih baik. Mereka hanya pasrah dengan keadaan yang ada pada saat itu. Ketiganya tetap pada sikap semula. Berdiam dan menunggu waktu.
Waktu berjalan lambat. Namun kedua mobil tetap melaju. Sang gadis tetap memejamkan mata. Diam di tempatnya.
Pengendara mobil hitam membanting setirya kearah kiri. Berusaha untuk menghindari kecelakaan yang adan terjadi.
Namun tiba-tiba mobil merah kehilangan kemudinya. Sang pengendara yang kebingungan membanting stir ke arah yang salah, yaitu mengikuti mobil hitam membelok ke kiri.
Sang gadis harusnya mengambil suatu keputusan yang benar, jika saja kedua mobil tetap melaju ke depan.
Kemudian . . . . . . . .
“BRAK!”
Bunyi benda yang terbentur dengan keras terdengar keras. Mobil hitam itu dapat berhenti dengan selamat. Begitu pula mobil merah. Kedua pengemudi itu selamat.
Kedua pengemudi itu bergegas keluar dari mobilmereka masing-masing. Mereka masih tak percaya dengan kajadian yang baru saja terjadi. Mereka merasakan bagai mimpi.
“perasaan gue lihat cewek deh” kata pengendara mobil merah kepada pengendara mobil hitam yang ada di sampingnya.
“iya gue juga lihat tuh. Eh tapi mana?” kata pengendara mobil hitam mencari sosok gadis yang tadi sempat membuatnya panik.
”ga tau. Tapi kayaknya ga ada deh.” si pengendara mobil merah turut mencari dengan lebihh seksama. ”kalo’ masih ga’ ada, jangan-jangan. . . . ”
”hus! Elo ngarang deh.” kata pengendara mobil hitam sdikit takut, memotong pembicaraan. “atau ini elo rekayasa biar elo ga kalah dari gue!” katanya sedikit naik pitam
“elo takut ya! Banci lo. Gitu mau pacarin dia. Ga pantes bego!”
Pengendara mobil hitam menghampiri pengendara mobil merah, di cengkeramnya kerah baju saingannya itu dan siap menghantamkan tinjunya ke arah muka saingannya itu, namun dia mendengar rintihan kesakitan. Suara yang ia kenal dengan jelas.
Pengendara mobil hitam mendorong tubuh saingannya. Kemudian dia berlari mencari sumber suara yang ia dengar itu.
Tepat di belakang mobil merah, pengendara mobil hitam melihat cairan merah kental. Segera di perintahkannya pemilikmobil untuk menyingkirkan mobil itu.
Setelah mobil itu dialihkan, mata pengendara mobil hitam terbelak. Dia terkejut dengan pa yang dia lihat.
Sosok gadis yang dicintainya terkapar di hadapannya bersimbah darah. Tubuh mungil gadis itu terkulai tak berdaya di depannya.
Tangan kecil sang gadis bergerak mencari ponsel miliknya yang berharga. Di genggamnya ponsel itu saat tangannya telah mampu menggapai ponsel itu. Di tekannya ponsel miliknya. Dia tersenyum memandang tampilan yang ada di ponselnya itu.
Wajah milik orang yang sangat ia cintai.
Sejenak sang gadis memandang layar ponsel miliknya sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat. Namun segera didekatkannya ponsel itu ke dadanya. Di peluknya erat ponsel itu. Matanya menangkap sosok yang berlutut di hadapannya. gadis tersenyum.
“Dick, akhirnya kamu ga hindarin aku lagi.” Kata gadis itu pelan. Senyum terkembang dari bibirnya yang mungil. “ Dick, kenapa tubuh aku sakit?”
Mata sang gadis tertutup rapat.
”RARA. . . . !” jerit pengendara mobil hitam
* * * * *
Mentari bersinar dengan cerah. Hujan deras yang mengguyur kota ini semalam bagai mimpi di siang hari. sinar sang fajar yang lembut menerobos masuk ke dalam kamar Dicky melalui celah-celah gorden yang sedikit terbuka.
Berkas cahaya yang nakal menimpa mata Dicky yang terpejam, membuatnya mau tak mau harus membuka mata.
Digerakkannya tubuhnya yang sedikit kaku. Udara dingin yang menyelimutinya membuat dirinya tetap tak beranjak dari tempat tidurnya. Malah Dicky semakin merapatkan selimutnya yang tebal.
Kenyamanan dan kehangatan yanag ia peroleh membuatnya tak perduli akan sinar yang mengenai matanya. Dicky menari selimutnya dan bersembunyi di balik bantal. Matanya kembali terpejam.
Ketukan pintu dari Mbok Nah, penbantunya tak menyurutkan niat Dicky untuk kembali terlelap.
”Den, sarapannya Mbok taruh mana ini?” tanya Mbok Nah polos.
”. . . ” Dicky hanya diam.
”Den. . .?”
Mbok Nah yang terus saja bertanya padanya membuatnya bangun juga. Dia memandang pembantu kesayangannya itu dengan majah manyun.
Mbok Nah yang melihat majikannya yang sudah di anggapnya anak sendiri itu tersenyum. Wajah manyun Dicky tak dapat menyembunyikan ketampanannya. Rambutnya yang acak-acakan semakin membuatnya terlihat lucu.
”aduh Mbok! Mank jam berapa sih? Bt!” kata Dicky manja. Dia memank senang bermanja pada pembantunya yang satu ini.
”jam delapan Den. Oh ya ini sarapan ditaruh di mana?” tanya Mbok Nah mengulang pertanyaan.
”di meja situ aja Mbok, biar saja Dicky yang makan sendiri nanti.” tiba-tiba, Raka muncul dari arah belakang Mbok Nah.
”iya Den. Kalau begitu saya pergi dulu.” Mbok Nah bergegas pergi meninggalkan Dicky dan Raka berdua di kamar Dicky.
Raka menghampiri Dicky yang memandang Raka dengan penuh dendam. Raka yang menyadari hal itu hanya dapat terdiam pasrah.
“ngapain lo ke sini?” kata Dicky kasar.
”gue hanya ingetin, ini hari, lo ada janji kan ama Rara. So jangan lupa ok!” kata Raka sesopan mungkin.
”Oh ya gue ga bakal lupa hal itu!” Dicky bergegas menuju kamar mandinya. Namun sebelum ia masuk ke dalamnya, Dicky kembali berbicara pada Raka ,”Dan elo, ga usah ikut!”
“tentu saja. Gue ga akan ganggu elo lagi.” Kata Raka kemudian segera bergegas pergi
* * * * *
Rumput basah. Embun yang terperangkap di sela-sela daun membuatnya basah. Matahari bersinar cerah. Burung-burung berkicau riang. Semilir angin segar membuat pagi ini begitu sempurna.
Dicky melangkahkan kakinya di atas rumput yang basah. Seikat bunga mawar berada di genggamannya. Dia terus saj berjalan menuju ke tempat di mana Rara berada. Di bawah pohon yang teduh itulah Rara menunggunya.
Dicky meletakkan bunga mawar itu di atar batu yang berdiri kokoh di hadapannya. Dia menunduk sembari menatap batu yang memiliki ukiran yang tak berharga bagi orang kebanyakan namun sangat indah untuk dirinya.
Dicky tersenyum. Dia mengeluarkan sebuah ponsel miliknya. Di tekannya nomor yang amat diingatnya di luar kepala. Sebuah nomor yang tak akan pernah lagi ia dengar suara pemiliknya.
“Tulalit. . . Tulalit. . “
Dicky mematikan ponselnya. Dia menatap angkasa dengan senyum yang masih berkembang di bibirnya. Dia tak dapat menghilangkan senyumnya itu dari bibirnya. Itu adalah janjinya pada gadis yang sangat dicintainya.
Dicky beranjak pergi dari tempat itu. Dia berjalan pelan. Menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya. Di usapnya airmata yang telah menganak sungai dari pipinya. Namun bibirnya masih terus membentuk sebuah lekukan indah.
Dipandangnya batu tempat bunga mawar itu dari kajauhan sebelum Dicky benar-benar pergi dari tempat itu. Ditariknya nafas dalam-dalam. Di hembuskannya dengan kuat. Dicky berlalu.
Dicky membukanya pintu mobil hitam miliknya. Mobil yang sama dengan mobil yang menabrak seorang gadis pada malam hari satu bulan yang lalu. Bukan sama lagi, karena memang mobil itu lah yang menabrak gadis tersebut
Batu itu memantulkan sinar matahari sehingga ukirannya nampak indah
AMARA NATASYA BINTI MAHFUD
SURABAYA 01 / 01 / 1993 – 24 / 12 / 2007
* * * * *
Epilog
Rumah sakit. Ruang ICU. Satu bulan yang lalu.
“dokter, bagaimana keadaan anakku dok? Piye kabare?” bapak Rara bertanya panic.
“pendarahan di tubuhnya telah berhenti, namun pendarahan di organ-organ bagian dalam masih berlanjut. Saya telah mengusahakan apa yang sebaik-baiknya pak” kata dokter tenang.
“dokter, tolong Rara dokter. Berapapun biayanya saya tanggung dok!” teriak Dicky.
“maaf mas, saya hanya manusia biasa. Ini tergantung pada kemauan Rara untuk tetap hidup.”
”oalah dokter, sampean niki bagaimana ta? Sampean tulong po’o dok, anak kulo niku dok”
”iya pak saya usahakan. Sekarang, kita tinggalmenunggu dia sadar saja.”
Dicky menghampiri Raka yang duduk kebingungan. Dicky menghantam pelipis Raka dengan kuat. Amarahnya tak terbendung.
Raka hanya pasrah menerima pukulan Dycky yang dilayangkan padanya. Jika itu dapat menebus kesalahannya pada Dicky dan Rara, dia rela.
”SIALAN LO!” teriak Dicky keras. Dia tak sadar dia berada di rumah sakit. Amarah sedang menguasainya.
”nak Dicky wis nak! Itu Rara udah siuman. Dia cariin sampean”kata bapak Rara gopoh.
”awas lo!” ancam Dicky.
Dicky berlari menuju kamar di mana Rara berbaring lemah. Didapatinya gadis mungil itu tersenyum memandang ponselmiliknya.
Rara menyadari kahadiran Dicky. Rara tersenyum semanis mungkin kepada dicky. ”Dick” uajr Rara pelan.
Dicky menghampiri Rara. Dibenahinya selimut yang membungkus badan Rara. Ditatanya agar gadis itu nyaman.
Dicky duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Rara. Di usapnya kepala Rara dengan lembut. Mata Dicky berkaca-kaca.
”Dick, kamu tahu ga?” tanya Rara
”tahu apa?” ujara Dicky lembut.
”tebak donk!” Rara berkata manja.
”Hm. . . . apa ya? Ga tau ah.”
”ok apa yang paling aku suka dari semua hadiah pemberian kamu?”
”hm. . . apa ya? Ga tau ah” kata Dicky menggoda Rara.
”ih mikir donk Dick. Dasar lemot!”
“ tuh mulai lagi kebiasaannya. Mojokin orang!” Dicky berkata pada Rara.
” ya maaf habis kamu gitu sih”
”ya tapi kan ga usah gitu.” dicky memulai ceramahnya. ” ga semua orang tuh kebal di bilang lemot! Kalo’ aku kan udah tau kamu. So ya aku tau lah.”
”ya maaf deh” Rara manja.
”ga!” kata Dicky pura-pura manyun. Bibirnya dimajukan beberapa centi.
Hal itu membuat Rara tersenyum geli.
“apaan sih! Orang marah di ketawain!” Dicky semakin cemberut
”iya maaf ta Dick ya.”
“iya deh aku maafin! Tapi ada syaratnya!” dicky melirik nakal ke arah Rara. Dia menunggu ekspresi dari wajah Rara.
Rara mengerutkan Dahinya. ” syarat apa?”
”kalo’ aku ke warung milik bapak kamu ama temen-temen aku, kamu harus buatin nasi goreng posi jumbo dan harus gratis!”
”apa!” Rara berteriak kecil, terkejut. Mulut rara menganga lebar. Dia sungguh terkejut dengan permintaan Dicky. “ ih ga’ mau! Nanti bapak rugi!”
“iya deh enggak! Cuman bercanda.”
“ dasar!. . . “ Rara mencubit lengan Dicky. Mereka tertawa bersama. “ Dick jawab donk!”
“ apa tadi pertanyaannya?”
”apa yang paling aku suka dari semua hadiah pemberian kamu? Cuman ada satu di dunia ini”
” oh itu gampang” Dicky beranjak dari tempat duduknya. Dia menutup jendela ruang di mana Rara di rawat.
Hari sudah sore. Matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit merah darah.
”jangan di tutup! Aku suka langit senja” kata Rara mengingatkan Dicky.
”tapi dingin kan?” tanya Dicky. Namun dia kembali membuka jendela agar Rara dapat melihat langit senja. ”Jawabnya ponsel kan?”
”salah!” kata Rara penuh kemenangan
”maksud aku bukan ponselnya” Dicky berjalan pelan ke arah Rara. Diambilnya posel Rara. Kemudian di tekannya tombol unlock di ponsel itu. Dia memperlihatkan foto yang sering Rara pandang dari ponsel milik Rara
Diraihnya ponsel miliknya sendiri dan di perlihatkannya foto yang sama dengan apa yang ada di ponsel milik Rara.
”ini kan yang kau suka? Aku juga suka senyum kamu padaku.” ujar Dicky pelan.
Mata Rara berkaca-kaca. Dia tak menyangka Dicky tahu apa yang dia sukai sampai seperti itu. ” Dick, kamu mau tersenyum untukku seperti apa yang ada di foto itu?” pinta Rara
”tapi kamu harus sembuh”
”kalau kamu ga’ tersenyum aku ga akan sembuh”
”sembuh dulu ya” dicky berkata pelan. Dia beranjak menuju ke jendela. Memandang ke luar.
“kamu janji ya, setiap ada aku, kamu harus senyum seperti itu” ujar Rara lemah. Tangannya sudah tak dapat menggenggam ponselnya lagi.
”iya”
”Dick, senyum sekarang!”
“kamu sembuh dulu Ra”
“Dick. . .”
”sembuh dulu ok”
”. . . . ”
”janji ya Ra”
”. . . . ”
”ra?” Dicky membalikan badan. Didapatinya Rara tergeletak tak berdaya dengan senyum di bibirnya. Ponsel milik Rara terjatuh ke lantai.
Dicky hanya dapat memandang tubuh Rara yang dingin.
Dokter bergegas memeriksa kondisi Rara.
Dicky tetap diam mematung. Sampai dia dibawa oleh bapak Rara keluar kamar. Dicky hanya mematung memandang pintu kamar dengan senyum yang terus mengembang.
Senyum untuk Rara.

0 penjamah dan penanti posting: